Timbalan Presiden Bukan Islam? - Ustaz Nasruddin Hassan
Dalil Larangan Syara' Terhadap Perlantikan Orang Bukan Islam
Dalam Kepimpinan Jamaah Islam atau Ahli Mesyuarat Utama dan Tetap
1. Larangan mengambil “Bithanah” dari kalangan orang bukan Islam
Firman Allah;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil bithanah (teman kepercayaanmu) dari orang-orang yang bukan dari kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”.
(Ali Imran: 118)
Apa makna Bithanah dalam ayat di atas? Dalam Tafsir Pimpinan ar-Rahman, bithanah diterjemahkan sebagai “orang dalam” (yang dipercayai).
Menurut Tafsir al-Jalalain; Bithanah ialah; orang-orang terpilih yang didedahkan rahsia kaum muslimin kepada mereka.
Menurut Imam ar-Raghib al-Asfahani dalam kitabnya al-Mufradaat; “Bithanatan” maknanya; “Orang-orang yang (mempunyai kedudukan) khusus bagi kamu di mana ia mengetahui secara dalaman urusan-urusan kamu”.
Berdasarkan huraian Said Hawa, termasuk juga dalam pengertian Bithanah ialah; al-istisyarah (iaitu meminta pandangan atau pendapat)[1], al-Istinshah (iaitu meminta nasihat), menjadi penyimpan rahsia dan teman rapat”.[2]
Adapun pengertian “min dunikum” (orang-orang yang bukan dari kalangan kamu), menurut Imam Ibnu Kathir; “orang-orang dari agama selain kamu (yakni orang-orang bukan Islam)”.
Menurut Tafsir al-Jalalain; “Orang-orang yang bukan dari kamu (kaum muslimin) iaitu Yahudi, Nasara dan munafik”. [3]
Lebih jelas, Syeikh Said Hawa menerangkan dalam al-Asas fi at-Tafsir; Firman Allah “Min Dunikum” termasuk dalam pengertiannya sekelian penganut agama-agama (selain Islam), orang-orang mulhid dan munafik, serta juga orang yang tergolong dalam ucapan Rasulullah “Laisa minna” (bukan dari kalangan kami)…..[4]
Beliau menjelaskan lagi; “Maksud pertama bagi yang demikian itu (yakni “orang-orang yang bukan dari kalangan kamu”) ialah orang-orang kafir ahli Kitab (yakni Yahudi dan Nasara). Jika begitu, maka orang-orang kafir lainnya sudah tentunya lebih utama untuk kita berhati-hati dan (lagipun) tegahan dalam ayat tersebut adalah bersifat umum.
Maka asas tegahan tersebut ialah ketidakharusan mengambil bithanah dari orang-orang yang bukan dari kalangan kita dan termasuk di dalam pengertiannya orang-orang kafir sekeliannya sama ada ahli kitab (yakni Yahudi dan Nasara), orang-orang Musyrikin, mulhid serta orang-orang munafik kerana mereka bukan dari kalangan kita….
dan sebagai ihtiyat (*yakni mengambil pendirian yang lebih berhati-hati) kita memasukkan juga dalam pengertiannya orang-orang orang yang dinafikan oleh Rasulullah bahawa ia tergolong dari kalangan kita (yakni kaum muslimin) seperti sabda baginda;
من غشنا فليس منا
“Sesiapa yang menipu kami maka ia bukan dari kami”
من رغب عن سنتي فليس مني
“Sesiapa yang berpaling dari sunnahku, ia bukan dari kalanganku”
من لم يهتم بأمر المسلمين فليس منهم
“Sesiapa tidak mengambil berat urusan kaum muslimin, maka dia bukan dari kalangan mereka”.
ليس منا من دعا إلى عصبية، وليس منا من قاتل على عصبية، وليس منا من مات على عصبية
“Bukan dari kalangan kami seorang yang mengajak kepada ‘Asabiyyah, bukan dari kalangan kami seorang yang berperang di atas dasar ‘Asabiyyah”.
Beliau (yakni Syeikh Said Hawa) menegaskan; “Orang-orang seumpama mereka hendaklah kita berhati-hati/berjaga-jaga. Maka janganlah kita menjadikan mereka orang-orang yang khusus bagi kita dan janganlah kita mendedahkan rahsia-rahsia kita kepada mereka, mendedahkan kejelikan/keburukan kita (yakni menceritakan masalah-masalah dalaman), menceritakan perancangan-perancangan kita dan bermesyuarat dengan mereka dalam masalah-masalah kita…”.[5]
2. Larangan memberikan wala' kepada orang bukan Islam
Allah tidak melarang kaum muslimin untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang bukan Islam sebagaimana firmanNya;
Namun wala' tidak diizinkan Allah untuk diberikan melainkan kepada orang mukmin sahaja. Berbuat baik kepada orang bukan Islam dan berlaku adil kepada mereka tidak harus dicampur adukkan dengan wala'. Al-Birr wa al-Adl adalah hak untuk semua manusia tanpa mengira agama dan pegangan hidup. Adapun wala' hanya khusus untuk orang yang seaqidah sahaja.
Apa maksud wala' ? Dan apa yang terkandung dalam skop wala' ?
Di antara ayat Allah yang menyentuh tentang walak ialah;
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”.
(Ali Imran: 28)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?”.
(an-Nisa’: 144)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil untuk menjadi wali-wali kamu orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman”.
(al-Maidah; 57).
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
(al-Anfal: 72)
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(at-Taubah: 71)
Ayat-ayat di atas menegas satu perkara kepada kita iaitu; larangan menjadikan orang-orang bukan Islam sama ada ahli Kitab (yakni orang-orang Yahudi dan Nasara/Kristian) atau penganut-penganut agama lainnya sebagai wali-wali kita, atau dalam pengertian yang lain, dilarang kita memberi wala’ kita kepada mereka.
Maksud wali secara amnya ialah rakan atau teman khusus yang dipercayai, diberi kesetiaan, diserahkan urusan dan kepimpinan, diambil pandangan atau perdapatnya, diamanahkan menjaga rahsia, diberi pertolongan (tatkala ia memerlukannya) dan dipohon pertolongan darinya (tatkala diperlukan bantuan darinya). Rakan atau teman khusus ini paling utama difahami dalam konteks perjuangan dan jihad kerana ia memiliki implikasi langsung dengan Islam dan masa depan umat Islam.
Syeikh Muhammad as-Shobuni dalam tafsirnya Sofwatu at-Tafasir menghuraikan wala’ kepada orang kafir dengan makna; “Memberi pertolongan kepada mereka, meminta pertolongan dari mereka, bersama-sama mereka dalam saf/barisan dan bergaul-rapat dengan mereka sebagaimana pergaulan dengan kaum muslimin”.[6]
Menurut Syeikh Musthafa al-Khairi; “Terkandung juga dalam makna memberi al-Wala’ kepada orang kafir ialah meminta pertolongan dari mereka dalam peperangan. Sebahagian ulama’ mengharuskannya jika ada keperluan dan diyakini kejujuran mereka…”.[7]
Dalam tafsir al-Qurthubi, Imam al-Qurthubi menaqalkan dari Ibnu Khuwaiz Mindad yang menyatakan; “Ayat ini (*yakni ayat 57 dari surah al-Maidah) sama seperti firman Allah dalam surah al-Maidah (ayat 51) dan Ali Imran (ayat 118) yang terkandung di dalamnya tegahan at-ta’yiid (yakni menguatkan pasukan) dan al-isti’anah (yakni memohon pertolongan/bantuan) dengan orang-orang Musyrikin dan yang seumpama mereka (yakni orang-orang bukan Islam).
Diriwayatkan dari Jabir r.a. yang menceritakan; “Tatkala Rasulullah s.a.w. hendak keluar ke peperangan Uhud, datang satu kumpulan orang Yahudi dan berkata; ‘Kami ingin keluar berperang bersama kamu’. Lalu Rasulullah s.a.w. menjawab; ‘Sesungguhnya kami tidak akan meminta pertolongan dalam urusan kami dari orang-orang Musyrikin”.[8]
Dan lebih tegas lagi, ada sebahagian ulama’ memasukkan juga dalam pengertian memberi wala’ kepada orang kafir; memberi jawatan kepada mereka dalam bidang/skop yang sepatutnya diisi oleh orang Islam seperti mengambil mereka untuk bekerja atau berkhidmat di diwan-diwan (yang merekod dan menjaga maklumat-maklumat dan rahsia Negara).[9]
Hujjah mereka ialah riwayat yang menceritakan celaan Umar terhadap gabenornya di Yaman iaitu Abu Musa al-Asy’ari yang mengambil seorang bukan Islam sebagai pencatat (bagi urusan yang bersangkutan kaum muslimin) dan ia mengarahkan Abu Musa supaya memecatnya.[10] (Sila baca riwayat ini di depan nanti bawah tajuk; Tegahan para sahabat
Sebagai penjelasan akhir bagi wala’ ini, kita memetik ulasan Asy-Syahid Syed Qutb dalam kitab tafsirnya yang terkenal “Fi Dzilalil-Quran”;
“Islam tidak menegah orang Islam untuk bermu’amalah (yakni berinteraksi) secara baik dengan orang yang tidak memeranginya kerana agama sekalipun orang itu tidak seagama dengannya. Akan tetapi wala’ adalah suatu yang lain dari bermu’amalah dengan baik itu.[11]
Wala’ adalah irtibath (keterikatan), tanashur (saling bantu-membantu) dan tawaaddu (saling kasih-mengasihi). Wala’ ini tidak wujud dalam hati seorang yang benar-benar beriman kepada Allah melainkan untuk diberikan kepada orang-orang beriman yang mempunyai ikatan dengannya kerana Allah, yang tunduk bersamanya kepada manhaj Allah dalam kehidupan dan yang berhukum kepada kitabNya dengan penuh taat, patuh dan berserah[12]”.
(Fi Dzilalil-Quran, Jil. 1, hlm. 387 (Surah Ali Imran, ayat 28))
3. Larangan Nabi dari melibatkan orang bukan Islam dalam permesyuaratan yang khusus berkait dengan maslahah agama dan kaum muslimin
Sabda Nabi s.a.w.;
لَا تَسْتَضِيئُوا بِنَارِ الْمُشْرِكِينَ
“Janganlah kamu menumpang cahaya orang-orang Musyrik” (Hadis riwayat Imam Ahmad dan an-Nasai dari Anas r.a.).
Menurut Imam Ibnu al-Athir dalam kitabnya an-Nihayah fi Gharibil-Hadith; maksud hadis ini ialah;
أي لا تستَشِيُروهم ولا تأْخُذوا آراءهم، جعل الضوءَ مَثلا للرأي عند الحيرة
“Yakni; janganlah kamu bermesyuarat dengan mereka dan janganlah mengambil pandangan-pandangan mereka. Rasulullah menjadikan cahaya sebagai misalan bagi pandangan/pendapat …”.
Menurut Imam al-Hasan al-Basri, maksud hadis tersebut ialah;[13] “Janganlah kamu bermesyuarat dengan orang-orang musyrikin dalam urusan-urusan kamu”. Dalil bagi tafsiran ini menurut beliau ialah firman Allah;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil bithanah (teman kepercayaanmu) dari orang-orang yang bukan dari kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”. (Ali Imran: 118)
4. Keengganan Rasulullah s.a.w. untuk menerima penyertaan orang kafir dalam saf jihad
Terdapat riwayat-riwayat hadis menceritakan Rasulullah s.a.w. menolak orang kafir dari menyertai jihad/peperangan bersama pasukan baginda meskipun ketika dalam keadaan gawat (seperti dalam peperangan Badar, Uhud dan Ahzab di mana bilangan tentera Islam amat sedikit). Antara riwayat yang dapat kita kemukakan di sini;
1. Imam Muslim meriwayatkan dari Saidatina Aisyah r.a. yang menceritakan; “Semasa Rasulullah sedang berjalan bersama tenteta Islam menuju ke Badar, ketika sampai di Harratil-Wabarah seorang lelaki datang menemui baginda. Lelaki itu dikenali sebagai seorang yang kuat dan berani menyebabkan para sahabat berasa gembira apabila melihat kedatangannya.
Lelaki itu berkata kepada Rasulullah; “Aku datang untuk menyertaimu dan memperolehi habuan rampasan perang bersamamu”. Lalu baginda bertanya kepadanya; “Adakah kamu beriman dengan Allah dan RasulNya”. Ia menjawab; “Tidak”.
Rasulullah lalu berkata kepadanya; “Pulanglah. Sesungguhnya aku sekali-kali tidak akan meminta bantuan dari seorang musyrik (فَارْجِعْ، فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ)”. Saidatina Aisyah r.a. menceritakan lagi; ‘Kemudian Rasulullah meneruskan perjalanannya, hinggalah tatkala kami singgah berhampiran sebuah pokok, lelaki itu datang lagi dan meminta seperti tadi.
Rasulullah juga menjawab sebagaimana tadi; “Pulanglah! Aku sekali-kali tidak akan meminta bantuan dari seorang musyrik”. Rasulullah meneruskan lagi perjalanannnya hingga sampai di al-Baida’. Di situ lelaki tersebut datang lagi dan mengulangi permohonannnya itu. Rasulullah bertanya sekali lagi kepadanya; “Adakah kamu beriman kepada Allah dan RasulNya”. Kali ini ia menjawab; “Ya (saya telah beriman)”. Lalu Rasulullah berkata kepadanya: “Ayuh! Bergeraklah (bersama kami)”.
(Lihat; Soheh Muslim, Kitab al-Jihad wa as-Siyar, bab Karahati al-Isti’anah fi al-Ghazwi bi kafirin…)
2. Diriwayatkan dari Jabir r.a. yang menceritakan; “Tatkala Rasulullah s.a.w. hendak keluar ke peperangan Uhud, datang satu kumpulan orang Yahudi dan berkata; ‘Kami ingin keluar berperang bersama kamu’. Lalu Rasulullah s.a.w. menjawab; ‘Sesungguhnya kami tidak akan meminta pertolongan dalam urusan kami dari orang-orang Musyrikin”.
(Lihat Riwayat ini dalam; Tafsir al-Qurthub, surah al-Maidah, ayat 57).
3. Ibnu Abbas r.a. menceritakan; seorang sahabat iaitu ‘Ubadah bin as-Shomit r.a. mempunyai rakan-rakan dari kalangan orang Yahudi. Semasa peperangan Ahzab, beliau (yakni Ubadah) berkata kepada Nabi s.a.w.; “Wahai Nabi Allah, saya mempunyai rakan-rakan dari orang Yahudi seramai 500 orang dan saya merasakan perlu untuk mengajak mereka keluar bersama saya untuk memerangi musuh. Lalu Allah menurunkan ayat;
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min”.
(Ali Imran: 28)
(Rujuk riwayat ini dalam Tafsir al-Qurthubi dan juga Rawai’ul Bayan, Syeikh Muhammad Ali as-Shobuni, jil. 1, hlm. 440).
Perhatikan; jika untuk menjadi tentera biasa telahpun ditolak atau dilarang oleh Nabi, maka bagaimana untuk mengambil mereka (yakni orang-orang bukan Islam) bagi mengisi barisan kepimpinan? Sudah tentu ianya lebih dilarang oleh baginda.
4. Tegahan para sahabat terhadap perlantikan orang bukan Islam untuk jawatan yang berkait urusan kaum muslimin
Dalam Tafsir Ibnu Kathir, terdapat riwayat dari Ibnu Abi Dahqanah yang menceritakan; pada zaman Umar r.a., terdapat seorang budak lelaki dari al-Hirah yang memiliki kepandaian menulis, namun ia tidak Islam. Lalu dicadangkan kepada Umar supaya mengambilnya sebagai penulis Negara. Namun umar menjawab; “Jika aku mengambilnya bermakna aku mengambil orang kepercayaan bukan dari kalangan orang-orang beriman”.[14]
Ibnu Kathir mengulas; Athar dari Saidina Umar ini berserta ayat di atas menjadi dalil bahawa tidak harus mengambil ahli zimmah (yakni orang bukan Islam yang menjadi warganegara daulah Islam) untuk bekerja atau bertugas (sebagai pencatat/penulis atau sebagainya) dalam hal-hal dalaman kaum muslimin kerana dibimbangi mereka akan mendedahnya kepada musuh-musuh Islam. Kerana itu Allah berfirman;
لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ
“…mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu”.[15]
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Iyadh yang menceritakan bahawa Abu Musa al-Asy’ari melantik seorang Nasrani sebagai pencatatnya. Pada suatu hari, atas suatu urusan ia membawa pencatatnya itu berjumpa Umar. Melihat kebolehan pencatat tersebut, Umar berasa takjub dengannya, lalu Umar memintanya untuk membaca suatu surat yang datang dari Syam yang berada di dalam masjid. Namun Abu Musa menjawab; ‘Ia tidak boleh memasuki masjid (wahai Umar)’. Umar bertanya; ‘Apakah ia berjunub?’. Jawab Abu Musa; ‘Bukan, tetapi kerana ia seorang Nasrani’. Umar lalu memarahi Abu Musa dan menampar pahanya. Kemudian Umar membaca firman Allah;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali kamu”. (al-Maidah: 51)
(Lihat riwayat ini dalam Tafsir Ibnu Kathir, surah al-Maidah, ayat 51).
AMALAN RASULULLAH S.A.W. DALAM PENGLIBATAN KERJASAMA DAN PAKATAN DENGAN ORANG BUKAN ISLAM
Menolak perlantikan orang bukan Islam untuk jawatan dalam kepimpinan tertinggi Jamaah tidak bermakna kita menentang segala bentuk pakatan atau kerjasama dengan orang bukan Islam. Jika kita membaca Sirah Nabi –khusus berkenaan interaksi baginda dengan orang bukan Islam- kita akan perhatikan; dalam aspek-aspek tertentu baginda amat bertegas menolak penglibatan orang bukan Islam (iaitu aspek yang berkait dengan bithanah, walak dan sebagainya tadi), namun dalam aspek-aspek lain pula baginda menerima penglibatan mereka, antara contoh yang boleh kita sebutkan ialah;
1. Hilful Fudhul
Nabi pernah bersabda;
لقد شهدتُ في دار عبد الله بن جُدعان حلفاً لو دُعيتُ له في الإسلام لأجبت، تحالفوا أن يردوا الفضول على أهلها، وألاّ يغزوَ ظالمٌ مظلوماً
“Aku pernah menyaksikan suatu perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an yang seandainya sekarang ini (yakni di masa Islam) jika aku diajak untuk ikut serta dalam perjanjian tersebut pasti aku akan ikut. Mereka berjanji untuk mengembalikan semua hak orang yang teraniaya kepada pemiliknya agar orang yang zalim tidak dapat berbuat sewenang-wenangnya kepada orang lemah”
(Riwayat Imam al-Humaidi dalam
Dalam riwayat yang dicatatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, lafaznya;
لَقَدْ شَهِدْتُ فِى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا أُحِبُّ أَنَّ لِى بِهِ حُمْرَ النَّعَمِ وَلَوِ أُدْعَى بِهِ فِى الإِسْلاَمِ لأَجَبْتُ
“Sesungguhnya aku pernah menyaksikan satu perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an. Ia lebih aku suka dari unta merah. Jika aku diajak untuk turut sama menyertai persepakatan serupa, nescaya aku akan menyertainya”
(as-Sunan al-Kubra, Imam al-Baihaqi, hadis no. 13461. Riwayat ini dikemukakan oleh Imam al-Mawardi dalam kitabnya; al-Ahkam al-Sultaniyah).
Perjanjian di atas dikenali dengan Halful-Fudhul iaitu satu persepakatan yang dibuat oleh beberapa pemimpin dari pelbagai Kabilah Quraiysh yang berpengaruh di Mekah untuk menuntut hak dan keadilan bagi orang-orang yang ditindas di Mekah.
Perjanjian tersebut berlaku 20 tahun sebelum Nabi Muhammad dilantik menjadi Rasul dan Rasul, iaitu pada zaman Jahiliyah. Perhatikan, bagaimana Rasulullah berhasrat menyertai persepakatan yang baginda sendiri tahu bahawa mereka yang terlibat semuanya bukan Islam. Namun oleh kerana isi persepakatan itu sama dengan apa yang dituntut oleh Islam iaitulah keadilan untuk manusia, maka baginda menyokongnya.
2. Piagam Madinah; Kontrak Sosial
Di antara yang pernah dilakukan oleh Nabi ialah mengadakan Mitsaq al-Madinah (Piagam/Perjanjian Madinah) sebaik baginda tiba di Madinah selepas hijrahnya. Perjanjian/Piagam ini tidak hanya membabitkan orang Islam (Ansar dan Muhajirin), tetapi juga membabitkan orang-orang bukan Islam yang tinggal di Madinah (khususnya golongan Yahudi). Di antara nas yang terkandung dalam piagam tersebut;
“Bahawa orang Yahudi yang menyertai kita mereka mendapat pertolongan dan bimbingan tanpa dizalimi dan tidak boleh ada pakatan yang tidak baik terhadap mereka”
(nas ke 16. Rujukan; Fiqh al-Harakah, Tn Guru Hj Abdul Hadi, jilid 2, halaman 23).
“Bahawa kaum-kaum Yahudi (dari bani Auf, Bani an-Najjar dan sebagainya) adalah satu umat (warganegara) bersama-sama kaum mukminin. Bagi mereka kebebasan menganut agama mereka dan bagi kaum muslimin agama mereka sendiri. Hak ini meliputi orang-orang yang bersekutu dengan mereka dan untuk diri mereka sendiri, kecuali terhadap orang yang berbuat zalim dan melakukan dosa, maka akibat perbuatannya tidak menimpa melainkan dirinya sendiri dan keluarganya”
(nas ke 25, kitab yang sama, halaman 23).
3. Nabi menerima perlindungan dari orang bukan Islam
Kisah yang masyhur ialah; Nabi menerima perlindungan bapa saudaranya Abu Thalib yang tidak pernah masuk Islam, memerintahkan golongan mustadh’afin berhijrah ke Habsyah untuk berlindung di bawah pemerintah Najasyi (seorang raja Kristian yang belum memeluk Islam ketika itu, tetapi terkenal dengan sikap adilnya), baginda menerima perlindungan Mat’am bin ‘Adiy ketika pulang dari Taif dan baginda mengizinkan Abu Bakar untuk menerima perlindungan yang ditawarkan oleh Ibnu Daghnah (seorang pemimpin Mekah yang bersimpati dengan Abu Bakar, tetapi tidak memeluk Islam).
(Rujuk; Fiqh a-Harakah, Tn Guru Hj Hadi, jilid 1, halaman 142-145).
4. Mengadakan perjanjian Hudaibiyah dengan Musyrikin Quraiysh
Berlaku pada tahun ke 6 hijrah (bulan Dzul Qaedah); perjanjian perdamaian di antara Rasulullah dan Quraiysh Mekah. Antara isi utama perjanjian ialah; gencatan senjata selama 10 tahun
(Rujuk; Fiqh a-Harakah, Tn Guru Hj Hadi, jilid 2, halaman 240).
5. Nabi menjalankan mu’amalah dengan orang bukan Islam
Telah sabit dengan nas yang soheh bahawa Nabi pernah melakukan hal berikut;
a) Menerima hadiah dari orang bukan Islam
b) Meminjam wang dari orang bukan Islam dengan menggadaikan baju besinya.
c) Menziarahi orang bukan Islam yang sakit.
d) Bangun menghormati jenazah orang bukan Islam yang dibawa lalu di hadapannya.
6. Saranan al-Quran dan as-Sunnah supaya kaum muslimin berbuat baik dan berlaku adil kepada orang bukan Islam dan memelihara hak mereka
"Dan tidak Kami utuskan engkau wahai Muhammad melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam"
(al-Anbiya', ayat 107).
"Allah tidak menegah kamu dari berbuat baik dan berlaku adil (kepada orang-orang bukan Islam) yang tidak memerangi kamu kerana agama kamu dan tidak mengusir kamu dari tanah air kamu. Allah mengasihi orang-orang yang berlalu adil"
(Surah al-Mumtahanah, ayat 8).
“Dan jika mereka berdua (yakni ibu dan bapa) mendesakmu supaya engkau mempersekutukan denganKu sesuatu yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, maka janganlah engkau taat kepada mereka dan bergaullah dengan mereka di dunia dengan cara yang baik…”
(Surah Luqman, ayat 15)
Diceritakan dalam hadis bahawa Asma’ binti Abu Bakar, tatkala datang kepadanya ibunya yang masih kafir (musyrik) untuk mengikat hubungan, ia (yakni Asma’) bertanya Nabi; “Ya Rasulullah, perlukah aku mengikat hubungan dengan ibuku itu?”. Nabi menjawab; “Ikatlah hubungan dengannya”.
(HR Imam al-Bukhari dan Muslim)
CADANGAN
Melihat kepada amalan Rasulullah di atas, saya mencadangkan;
1. Aspek-aspek dalam jamaah yang ada kaitan dengan persoalan bithanah dan wala' (antaranya soal kepimpinan tertinggi, ahli permesyuaratan atau majlis Syura, keanggotaan jamaah, dalam menentukan halatuju jamaah dan sebagainya) tidak perlu dilibatkan orang bukan Islam. Ia hendaklah khusus kepada orang beriman sahaja sebagai mengambil contoh dan tauladan dari amalan Nabi tadi.
2. Aspek-aspek yang membabitkan hak rakyat, keadilan, kesamarataan, membenteras penyelewengan, mencari alternative pemerintahan terbaik dan sebagainya; inilah ruang yang terbuka luas untuk kita mengadakan kerjasama dan pakatan dengan sesiapa sahaja yang memperjuangkan hak dan keadilan termasuk dengan orang bukan Islam selagi tidak melanggar batasan Syariat (al-Quran dan as-Sunnah).
3. Kesimpulannya; tidak usahlah kita membuka kepimpinan Jamaah kepada orang bukan Islam kerana ia bercanggah dengan ayat-ayat walak dan bithanah tadi, sebaliknya kita mengeratkan kerjasama dan pakatan dengan mereka dalam mewujudkan amalan politik dan pemerintahan yang bersih dan adil untuk semua rakyat Malaysia.
PAS mesti dikekalkan sebagai Parti yang 100% berjiwa dan berwajah Islam (dalaman dan luarannya) dan pada masa yang sama ia membuka ruang ta’awun (kerjasama) dan tahaluf (pakatan) yang seluas-luasnya dengan siapa sahaja yang memperjuangkan keadilan selagi tidak melanggari Syariat.
Wallahu a’lam.
[2] Al-Asas fi at-Tafsir, jil. 2, hlm. 865.
[3] Jika dirujuk kepada ayat sebelumnya, maka Allah memperkatakan tentang orang kafir. Ini memberi petunjuk kepada kita bahawa maksud “Min dunikum” dalam ayat ini ialah orang-orang kafir keseluruhannya. Ayat-ayat sebelum ayat di atas ialah;
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ، مَثَلُ مَا يُنْفِقُونَ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رِيحٍ فِيهَا صِرٌّ أَصَابَتْ حَرْثَ قَوْمٍ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَأَهْلَكَتْهُ وَمَا ظَلَمَهُمُ اللَّهُ وَلَكِنْ أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
[4] Al-Asas fi at-Tafsir, jil. 2, hlm. 865.
[5] Al-Asas fi at-Tafsir, jil. 2, hlm. 867.
[6] Rujuk Sofwatu at-Tafasir, juz 1.. hlm. 349.
[7] Al-Muqthathaf min ‘Uyuni at-Tafasir, jil. 1, hlm. 314. (Surah Ali Imran, ayat 28)
[8] Rujuk Tafsir al-Qurthubi (surah al-Maidah, ayat 57)
[9] Al-Muqthataf, jil. 1, hlm. 314, Rawai’ul-Bayan (Syeikh as-Shobuni), jil. 1, hlm. 444.
[10] Rujuk; Rawai’ul-Bayan (Syeikh as-Shobuni), jil. 1, hlm. 444.
[11] Yakni orang Islam harus bergaul dan berinteraksi dengan orang bukan Islam, namun tidak harus memberi walaknya kepada mereka.
[12] Yakni seorang yang benar-benar beriman tidak akan memberi wala’nya melainkan kepada orang-orang yang beriman yang menjalani kehidupan di atas manhaj Allah dan menjadikan kitab Allah sebagai pemutus bagi setiap perkara.
[13] Lihat; Tafsir Ibnu Kathir,
[14] Tafsir Ibnu Kathir, surah Ali Imran (ayat 118)